
FIRST TWO HANDS VOL. 2: GUNTUR KISWANTO
Guntur mulai mencintai kopi sejak tinggal di Sydney pada 2018, terinpirasi oleh budaya kopi yang kuat, namun Jepang menjadi pengalaman kopi paling berkesan baginya, karena pendekatan mereka terhadap kopi yang penuh detail dan antusias. Sebagai seorang art director, Guntur juga terinspirasi oleh aspek visual dari coffee shop, seperti branding dan packaging. Bagi Guntur, kopi bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang koneksi, baik dengan tempat, orang, maupun momen yang terekam lewat kemasan, drip bag, atau catatan beans yang ia koleksi sebagai dokumentasi personal.



Gue inget pertama kali kita ketemu, gue lihat lo nggak pernah absen minum kopi sehari pun sampai akhirnya bikin kopi manual brew di kantor udah jadi rutinitas harian lo. Memang sejak kapan sih lo mulai minum kopi?
Gue mulai suka minum kopi dan mau tahu lebih banyak tentang apa yang gue minum itu sejak gue tinggal di Sydney 2018, karena gue merasa di Australia secara umum people are very passionate about coffee. Jadi selama di sana gue lumayan ter-influence kayak gimana caranya ngebedain mana kopi yang enak sesuai preference lo and so forth. Karena culture-nya juga kopi banget, kayak if you’re heading out to work without a cup of coffee in your hand it feels weird.
Bagaimana lo melihat coffee scene di sana compare dengan kota sekarang lo tinggal?
Selama gue tinggal di sana, gue ngerasa lo bisa dapetin secangkir kopi enak di hampir setiap sudut jalan. Coffee shop dan bar di mana-mana. Dan baristanya tuh bukan cuma kerja, tapi tapi juga passionate banget, mereka benar-benar belajar tentang kopi. Mereka invest waktu buat benar-benar mengerti cara bikin kopi yang enak sebelum akhirnya kerja jadi barista dan nyeduh buat orang lain. Jadi memang jadi barista di sana nggak segampang itu dan butuh sertifikasi juga untuk bisa kerja, nggak bisa sembarangan.
Sekarang, gue mulai melihat hal yang sama di Jakarta. Coffee scene-nya udah berkembang banget. Udah mulai banyak coffee bar yang serius soal brewing, dan orang-orang juga makin passionate sama kopi. Barista-baristanya juga makin niat belajar dan invest waktu buat beneran ngerti cara bikin kopi yang bukan cuma enak, tapi punya karakter. Kopi sekarang udah jadi sesuatu yang di-craft, bukan cuma diseduh.

Sekarang lo mulai untuk membuat kopi lo sendiri, kenapa akhirnya memutuskan untuk melakukan itu? Apakah ada pengaruhnya dalam keseharian lo?
Dulu waktu di Sydney, gue sempat bekerja sebagai barista di salah satu coffee chain asal Australia, namanya Max Brenner. Walaupun mereka lebih fokus ke hot chocolate, waktu itu gue suka ambil order minuman espresso based. Dari situ gue belajar banyak banget tentang cara bikin kopi, bahkan sempat ambil sertifikasi juga soal coffee making.
Pas gue balik ke Indonesia, gue mulai bikin kopi sendiri buat konsumsi sehari-hari. Alat kopi pertama yang gue beli waktu itu moka pot Bialetti, dan sekarang gue pakai Hario V60.
Menurut gue, kopi itu a full sensorial experience. Banyak banget aspek yang bikin proses nyeduh kopi tuh terasa satisfying dan bahkan therapeutic. Dari suara airnya, aroma saat diseduh, sampai main feeling soal suhu air dan grind size. Hal-hal kecil kayak gitu lama-lama jadi terasa banget. Gue sih bukan tipe yang super teknikal, tapi cukup aware soal elemen-elemen tadi. Dan yang paling penting, kopi yang gue bikin enak buat selera gue sendiri. Dan setiap kali gue bikin kopi, rasanya rewarding banget, karena itu pengalaman yang gue alami sendiri, di ruang personal gue. Tentunya, biar gue bisa 'berfungsi' nih sebelum mulai bekerja.
Sebagai seorang art director, lo kan punya banyak references akan karya visual. Kalo beans favorit lo diibaratkan karya visual, kira-kira karyanya siapa?
Kalau gue ibaratkan beans selection yang gue suka ke karya visual, gue tuh kepikiran banget sama salah satu artist favorit gue, David Hockney. Warna-warna di karya dia tuh bold dan saturated banget, dengan style yang agak impresionis. Dan menurut gue, that’s how my coffee feels.
Selalu ada semacam negative space, tapi negative space-nya tuh tetap terasa rich dan colorful. Kayak kalau bayangin kopi-kopi yang fruity, floral, yang vibes-nya kayak spring summer, ya gue langsung kepikiran ke karya-karya dia. Bright, playful, dan penuh karakter, sama kayak cup of coffee yang gue suka.



Gue yakin lo pasti punya banyak coffee experiences. Dari itu semua, mana yang paling berkesan buat lo?
So far, dari semua kota yang pernah gue datangi, Japan is on another level. Coffee brewing di Jepang, atau coffee scene-nya secara keseluruhan, itu beda banget. Bukan soal kuantitas kayak di Sydney, yang coffee shop literally ada di mana-mana, tapi lebih ke ideologi dan pendekatan mereka terhadap kopi. Mereka tuh sangat thoughtful, penuh passion, dan itu kerasa banget bahkan saat mereka jelasin proses brewing ke gue.
Pertama kali gue ke Tokyo, tahun 2019, gue mampir ke salah satu coffee shop favorit gue: Counterpart Coffee Gallery. Gue udah ke Jepang tiga kali, dan setiap ke sana gue pasti balik lagi ke tempat ini. Kopinya enak banget, tapi yang bikin beda adalah experience-nya. Walaupun rame, baristanya tetap sabar jelasin step-by-step, nanya preferensi gue, bahkan pas gue mau beli beans, mereka tanya dulu metode seduh yang biasa gue pakai di rumah. Dari situ mereka kasih beberapa rekomendasi resep. Misalnya, kalau pakai moka pot kayak gimana, pakai V60 gimana, atau bahkan dripper Origami hasilnya akan beda lagi. It was mind-blowing.
Itu juga jadi momen pertama gue ketemu barista yang passionate banget kayak gitu. Pertama kali juga gue bener-bener ngeh soal manual brew, dan pertama kali belajar seduh langsung dari orang lain. Fun fact: di Jepang, sekitar 70–80% coffee shop hanya menyajikan manual brew, beda banget sama Sydney yang mostly espresso based. Jadi buat gue, Jepang tuh bukan cuma soal kopi yang enak, tapi juga soal bagaimana mereka memperlakukan kopi dengan penuh respect dan detail.
Do you agree that coffee helps you to connect to places or people?
100% sih. Menurut gue, koneksi antara lo dan gue tuh emang berawal dari kopi. Gue pernah beberapa kali ke J68, duduk di bar, terus tiba-tiba orang di sebelah gue ngajak ngobrol. It’s a really attractive medium buat orang bisa connect satu sama lain. Gue juga sering ngobrol sama barista, almost every time, apalagi kalau datang ke coffee bar kecil yang isinya cuma 3–4 orang.



Dari semua coffee shop yang pernah lo datengin, hal apa sih yang pertama kali bikin lo ngeh kalo tempat itu menarik? Is it the vibe or maybe something unexpected?
Menurut gue, coffee scene itu very layered. Bukan cuma soal beans yang enak, tapi juga atmosfernya: tempatnya, interiornya, keramahan orang-orang yang menyajikan kopi, sampai ke detail visual kayak grafis, branding, packaging, collateral, print-out, sampai merch. Tangibly, gue justru banyak terinspirasi dari hal-hal visual itu. Gue banyak ambil referensi dari branding coffee shop, dan itu juga yang biasanya paling duluan gue notice setiap datang ke coffee shop di kota atau negara yang baru pertama kali gue kunjungi.
Coffee shop mana yang menurut lo branding dan packaging-nya paling menarik buat lo?
Kalau di Indonesia, menurut gue yang branding-nya bagus dan berkesan itu 32DO di Bali. Arsitekturnya keren banget, yang ngerjain FFFAAARRR, dan branding-annya juga lucu, ilustrasinya khas. Kalau di Jepang, favorit gue Mameya Coffee Tokyo. Buat gue ini definisi dari kopi bukan cuma soal rasa, tapi soal keseluruhan experience. Semua elemennya tuh kayak saling melengkapi untuk ninggalin kesan yang kuat ke customer.
Mereka punya konsep omakase, yang harus booking dulu, dan dua kali nyoba gue nggak pernah dapet karena selalu full sampai dua bulan ke depan. Tapi mereka juga punya tempat yang lebih "komersil", walaupun tetap kecil dan intimate. Semua servisnya take-away, tapi orang-orang bisa betah lama banget di sana karena interaksinya sangat personal. Beans selection-nya gila sih, bisa sampai lima puluh jenis dari berbagai roastery, salah satunya Common Grounds dari Indonesia. Disusun urut dari light ke dark roast, secara kronologis. Lo bisa lama di sana bukan karena ngantri duduk, tapi karena keasikan ngobrol sama baristanya. They really aim to create a personal experience for every customer. Kalau soal rasa kopinya, gue pernah nemu yang lebih enak, tapi dari sisi experience, Mameya juara banget.
Apakah lo suka menyimpan barang-barang seputar kopi?
Banget! Kalau lagi ke luar negeri, biasanya yang paling gampang dibawa pulang tuh beans. Tapi gue jarang beli banyak, paling cuma satu atau dua, karena selain mahal, beans juga makan tempat. Kadang gue pilih beli drip bag aja, lebih praktis dan hemat space.
Nah, packaging-nya itu yang biasanya gue simpen. Ada yang gue beli sendiri, ada juga yang dibawain temen-temen dari Melbourne, Sydney, Jepang, Korea, Bangkok, atau dari coffee shops lokal di Indonesia.
Terus, kalau lo suka order manual brew di coffee shop, kan suka dapet kartu info tuh, yang ada deskripsi beans-nya: di-harvest dari mana, prosesnya gimana, flavor notes-nya apa. Nah itu juga gue simpen, nggak peduli desainnya bagus atau biasa aja. Pokoknya gue emang suka banget sama yang printed materials kayak gitu, ada sentimental value-nya aja sih.Dalam waktu dekat ini lo lagi ada project apa?
Just wrapped an interesting project for one of the biggest global fashion retail brands. Super fun, karena gue bisa kerja bersama para pekerja di industri kreatif yang berbeda. I really enjoyed this collaboration with such big names from across the creative industry.



Wawancara bersama Guntur Kiswanto untuk First Two Hands, sebuah proyek fotografi oleh Agung Hartamurti yang menggali ritual, refleksi, dan koneksi manusia di balik secangkir kopi. Semua foto dan wawancara diambil di kantor Studio 1212, Juli 2025. Follow akun Instagram: @gunturkiswanto @first.two.hands